Assalamu'alaikum wrwb.

Teman,..Marilah lewat komunitas group "SEDEKAH JAMAAH"
http://www.facebook.com/groups/399182120142936/
kita sedekahkan sebagian rejeki yang Allah dititipkan kepada kita. Untuk Saudara-saudara kita yang sangat membutuhkan bantuan khususnya daerah Purwokerto, Banyumas dan sekitarnya. Semoga dengan bersedekah Allah akan memudahkan langkah hidup kita. Aamiin.
Saya akan salurkan sedekah saudara untuk suadara saudara kita yang sangat membutuhkan. Insya Allah saya sendiri yang akan langsung mengantarkannya...untuk memudahkan, saya sudah membuka rekening khusus untuk teman temanku yang mau membuka hatinya untuk membantu mereka yang sangat membutuhkan.
BCA Purwokerto : 0461339076, atau
Bank Mandiri : 1390011853854, atau
BRI : 311201017761538
an. AGUS RIYANTO
Setelah transfer mohon konfirmasikan dengan sms di no. Hp saya : 085291387775 atau inbox di facebook saya dengan menulis "Sedekah Jamaah" Nama, alamat, besar nominal.
Sedekah Teman teman akan saya salurkan dengan prioritas sbb:
1. Anak-Anak/Dewasa/Orangtua Sakit dan tidak mampu
2. Biaya sekolah Anak Yatim / Yatim Piatu dan Dhuafa
3. Janda-Janda tua dhuafa
4. Panti asuhan anak cacat
5. Panti Asuhan Bayi Terlantar
6. Panti Asuhan Yatim Piatu

Terimaksih atas dukungannya. Jazakumullah khairan katsira, Semoga amal ibadah teman teman diterima dan mendapat pahala berlipat dari Allah SWT. Aamiin.

Wassalamu'alaikum wrwb.

Menggambar foto wajah selain sebagai hobi dapat juga berguna untuk pengembangan kemampuan visual dalam menggambar sebuah objek yang realis, seperti objek manusia atau objek tiga dimensi lainnya dalam bidang dua dimensi.
ari pengalaman penulis, ada dua macam menggambar foto wajah; yang pertama yaitu memindahkan wajah dalam foto ke bidang gambar semirip mungkin dan yang kedua memindahkan wajah dalam foto ke bidang gambar hanya dengan mengambil esensi dari wajah yang akan digambar. Pada kasus yang pertama dibutuhkan kemampuan visual yang cermat serta pengetahuan dasar mengenai anatomi wajah manusia. Sedangkan pada kasus yang kedua selain memiliki kamampuan visual dan pengetahuan anatomi wajah, juga dibutuhkan kemampuan membaca karakter dari objek.
Dalam kesempatan ini, penulis hanya akan membahas kasus pertama.
Beberapa tips dalam menggambar foto wajah:
- untuk mempermudah proses penggambaran, sangat dianjurkan untuk membiasakan mata kita melihat objek yang akan digambar, dalam hal ini foto wajah yang akan digambar
- peletakan objek yang akan digambar juga sebaiknya berdekatan atau seolah-olah berdekatan dengan bidang gambar
- arah mata kita harus selalu berpindah-pindah dari bidang objek ke bidang gambar.
Berikut adalah proses cepat bertahap penggambaran foto wajah hitam-putih menggunakan pensil;

1. Setelah terbiasa melihat objek yang akan digambar, mulailah menarik garis sketsa menggunakan pensil F, H atau HB untuk membuat bidang mata kemudian diteruskan ke bidang hidung dan mulut. Setelah itu buat bidang kepala, telinga dan rambut. Setelah selesai maka sketsa gambar kepala ini menjadi acuan untuk menggambar bagian tubuh lainnya. Tidak perlu menggambar keseluruhan objek seperti terlihat dalam foto, dengan cara ini bisa menambah keindahan pada gambar

2. Pertegas garis-garis sketsa yang sudah ada menggunakan pensil 2B, sehingga objek yang tergambar mulai terlihat bentuknya. Seperti biasa mulailah dari mata, karena bentuk mata adalah kunci keberhasilan dari seluruh proses. Pada tahap ini, memori kita terhadap wajah asli sang objek (bukan dalam foto) sangat dibutuhkan. Diantaranya memori mengenai lekukan-lekukan wajahnya dan beberapa ekspresi wajahnya. Hapus garis-garis sketsa yang tidak diperlukan apabila mengganggu.

3. Setelah selesai mempertegas garis sketsa, maka mulailah memberi arsiran sesuai pencahayaan dalam foto, dimulai dari mata. Cukup dengan arsiran kasar mengunakan pensil 2B, jangan terlalu runcing atau terlalu tumpul. Berikan karakter garis pada bidang-bidang tertentu; seperti pipi, hidung, telinga dan lekukan kain pada baju. Pada tahap ini gambar akan terlihat seperti komik.

4. Sentuhan akhir menggunakan pensil mulai dari HB hingga 6B (menggunakan HB dan 2B sudah cukup). Pertegas lagi garis-garis tepi serta garis-garis karakter menggunakan pensil 2B runcing. Rapatkan arsiran menggunakan pensil HB tumpul, kemudian timpa dengan pensil 2B tumpul. Untuk menambah hasil yang lebih realis, gosok hasil arsiran dengan lembut menggunakan ujung jari, kapas atau penghapus. Setelah semuanya selesai, untuk menambah nilai seni dan keindahan dari gambar tersebut, bubuhkan tandatangan Anda.




Pada teknik menggambar foto wajah berwarna selain dibutuhkan kemampuan seperti pada menggambar hitam putih juga dibutuhkan kemampuan dalam pencampuran warna, ini dikarenakan warna kulit manusia bukan merupakan warna primer. Pencampuran warna juga tidak hanya dari satu media saja melainkan bisa dari beberapa media atau biasa disebut mix-media.

Mix-media dapat dilakukan dengan mencampur dua media pewarna seperti pensil warna dengan soft pastel, pensil warna dengan studio marker, cat air dengan pensil warna atau yang paling sederhana pensil warna dengan pensil grafit dan sebagainya. Dari pengalaman penulis mix-media bisa diterapkan sampai empat media pewarna; pensil grafit, soft pastel, pensil warna dan studio marker. Tahapannya adalah sebagai berikut;



Setelah sketsa menggunakan pensil grafit, gunakan soft pastel sebagai pewarna dasar kemudian gunakan pensil warna sebagai penegas warna dasar. Pertegas garis sketsa menggunakan pensil grafit runcing atau pensil warna runcing berdasarkan warna alami pada objek kemudian gunakan pensil warna tumpul untuk memberikan efek kedalaman dan gelap-terang. Agar arsiran menjadi halus lakukan gosokan perlahan menggunakan kapas atau cotton bat. Terakhir gunakan studio marker untuk highlights dan warna kontrasnya, sambil di gosok dengan jari atau cotton bat selagi marker masih basah.


Selamat mencoba!

DOBEL YM :

window – run

jalankan regedit

Hkey current user

software

yahoo messenger

page

test

klik kanan _ new DWORD value _ beri nama PLURAL _ OKE
klik double _ ganti value 0 menjadi 1

maturnuwun mas udin

PERUBAHAN cepat dalam teknologi informasi saat ini telah mengubah kebudayaan sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan. Masyarakat di seluruh dunia telah mampu melakukan transaksi ekonomi dan memperoleh informasi dalam waktu singkat berkat teknologi satelit dan komputer. Kini pun kita masuk dalam ikatan kebudayaan global.
Corak kebudayaan global telah memerdekakan dan membebaskan manusia. Perubahan kebudayaan lokal dan sosial akibat revolusi informasi ini tidak dapat dielakkan.Masyarakat perkotaan yang memiliki akses terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh kebudayaan global. Akses informasi dapat diperoleh melalui media massa cetak maupun elektronik, internet, dan telepon. Masyarakat perkotaan dipengaruhi terutama melalui reproduksi narasi yang dilakukan oleh media massa.

Dalam konteks Indonesia, masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall, industri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, iklan barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisi maupun cetak yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi.

Gambaran tersebut terjadi di banyak masyarakat perkotaan Indonesia. Kebudayaan dalam hal ini tidak sekadar disekapi sebagai keseluruhan pola perilaku dan pemikiran kelompok sosial masyarakat secara mapan. Kebudayaan bukan dipandang sebagai suatu realitas kebendaan yang selalu tetap, tetapi ia telah membentuk realitas yang selalu diproduksi dan direproduksi secara terus menerus terhadap suatu kelompok sosial masyarakat.

Media – termasuk di Indonesia – memberi kontribusi yang cukup besar dalam mengkonstruksi realitas tersebut. Dan, konstruksi tersebut tidak selamanya bertahan. Dalam waktu yang berubah secara cepat, media juga tak jarang kemudian mendekonstruksi, dan merekonstruksi realitas. Di sinilah media menjadi semacam arena dari sebuah konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi kebudayaan

Dari serba negara ke cengkeraman tangan pengusaha

Perjalanan media di Indonesia saat ini, pada dasarnya menunjukkan gambaran tentang suatu realitas: dari serba negara bergeser ke tangan pengusaha. Kebijakan politik pemerintah Orde Baru (Orba) misalnya, lebih mengarahkan isi media yang serba negara. Dengan mengatasnamakan pembangunan nasional, pemerintah Orba mengeluarkan sejumlah aturan atau kebijakan politik yang semata-mata untuk kepentingan negara. Sedangkan setelah Orba – seiring dengan terbukanya kebebasan politik di Indonesia – orientasi pada ekonomilah yang dijadikan “kiblat” bagi para pemilik modal untuk mengendalikan isi media.

Pasang surut perkembangan media sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi politik negara yang bersangkutan. Pada masa pemerintahan Orba, negara sangat mendominasi media. Bahkan, Orba mendefinisikan media sebagai kendaraan bagi terciptanya “kebudayaan nasional”. Ketika Orba runtuh, dominasi negara atas media memang berkurang. Akan tetapi, berkurangnya dominasi negara ternyata tidak menjamin terciptanya demokratisasi media. Media saat ini lebih menjadi bagian industri yang cenderung sebagai alat akumulasi modal bagi pemilik industri media.

Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa keberadaan media saat ini, telah berkembang tidak hanya sekadar mempresentasikan pengetahuan, gagasan, dan pandangan yang membentuk struktur secara mantap. Media saat ini justru telah membangun realitas sosial dari sebuah industri yang lebih menuntut pada pengembalian modal usaha yang disajikan terhadap masyarakat dinamis dan kontemporer.

Media massa saat ini, telah menjadi institusi produktif yang kemudian memposisikan dirinya sebagai agen perubahan (agency of change). Melalui media, berlangsung perbenturan yang mengguncang struktur kebudayaan dan sistem komunikasi yang telah mapan, berubah pada struktur kebudayaan dan sistem kominikasi baru. Dengan demikian, media. memberi kontribusi proses perubahan dan pembentukan pengetahuan baru.

Industri media saat ini telah melahirkan kelompok yang berdaya (para pemodal) untuk membentuk mainstream atau nilai-nilai yang sekaligus membentuk struktur kebudayaan dominan. Dengan demikian, kekuatan kelompok partkular dapat menghasilkan cultural transgression berkat mitos-mitos bentukan mereka dan diekspresikan melalui media yang mereka miliki. Sebagai contoh ketika terjadi gempa dan gelombang tsunami di Aceh – juga bencana-bencana yang lain – ternyata sebagian besar media (terutama televisi) dalam waktu bersamaan masih menayangkan acara hiburan dengan bersukaria.

Keberadaan media saat ini adalah bagian dari sebuah industri. Setiap industri media dituntut memperhitungkan pengembalian setiap investasi yang ditanamnya. Sebagai sebuah industri, setiap produsen media dalam rangka mempertahankan eksistensinya tidak bisa menafikan kepentingan ekonomi. Determinasi ekonomi inilah, kemudian menjadi motivasi utama pengusaha media akan selalu melakukan ekspansi usaha demi mengembalikan investasi yang mereka tanam.

Bagi para pengusaha stasiun televisi misalnya, demi pengembalian investasi akan ditandai dengan sejumlah tindakan pengelola stasiun merayu pemasang iklan agar menjadi sponsor sejumlah sajian acara yang ditayangkan, baik berupa hiburan maupun informasi. Diharapkan setiap siaran yang ditayangkan mampu “merayu” pemasang iklan. Untuk itulah, tuntutan pemasang iklan dijadikan prioritas utama setiap stasiun televisi dalam menyusun setiap isi siarannya. Artinya, sajian acara televisi dirancang bukan bertolak dari nilai kegunaan bagi audience, tetapi bagaimana audience terpengaruh dengan isi siaran yang diinginkan para pemasang iklan televisi. Keberadaan audience justru sering dijadikan alat konfirmasi suatu sajian acara. Ketika sebuah sajian acara ternyata disukai banyak pemirsa maka ia pun terus menerus diproduksi. Berkualitas, mendidik, atau berguna bagi pemirsa, itu nomor dua.

Di sisi lain, praktik-praktik sosial antarindividu tiba-tiba tercipta dengan cepat, secepat mereka merepresentasikan dirinya akibat merespons sejumlah tayangan acara yang ada. Sihir sakti acara televisi telah mencengkeram sejak bagun pagi hingga kita tidur kembali. Ia telah membentuk gerakkan arus besar tentang relasi-relasi antara yang mendominasi dan yang terdominasi, antara yang mempengaruhi dan yang terpengaruhi, antara yang memprovokasi dan yang terprovokasi, antara yang berkuasa dengan yang dikuasi, bahkan antara gambaran ruang yang bersifat publik dengan yang bersifat domestik.

Acara tayangan televisi telah menjadi bagian dari refleksi kehidupan sehari-hari. Ia menjadi model dari sebuah habitus yang berperan aktif dalam ranah sosial. Ia telah menjadi fenomena komunikasi yang tidak bisa dilepaskan dari karakterisitik individu-individu yang kemudian menjadi objek dan subjeknya.

Bahkan, tanpa sadar ia telah membangun hubungan-hubungan sosial melalui interaksi sosial dalam konteks politik, ekonomi, dan kultural. Ruang dan waktu tak lagi menjadi pembatas dan kendala terjadinya perubahan (bandingkan pada Gidden 1979).

Dari sinilah lahir kebudayaan massa yang cepat dan penuh perubahan. Di tengah kebudayaan massa yang serba cepat itulah sejumlah ekspresi tentang nilai, pengetahuan, norma, dan simbol, menandai dinamika masyarakat kita. Televisi, kini tak lagi sekadar media komunikasi yang melahirkan dan membangun hubungan sosial secara harmonis. Ia bisa jadi justru mendorong penghacuran hubungan sosial tersebut. Apalagi media – semacam televisi— merupakan alat yang digunakan untuk mengembangkan strategi yang kemudian melahirkan propaganda kekuatan politik, ekonomi, bahkan misi keagamaan (bandingkan pada Berlo, 1960 dan Fidler, 1997).

Di samping itu, jika televisi kita tempatkan sebagai media strategi komunikasi, maka ia mempunyai tujuan memelihara atau mengubah sikap atau pendapat sasaran demi kepentingan sumber pembuat strategi. Bahkan, dapat dikatakan bahwa media komunikasi lebih cenderung bertujuan untuk melahirkan khalayak (audience) agar patuh kepada pihak yang menguasai modal komunikasi, baik dalam konteks politik maupun ekonomi.

Atau sebaliknya, ia justru menjadi alat pembangkang terhadap sistem yang sudah mapan, tetapi diharapkan berubah patuh terhadap sistem yang lain. Media komunikasi juga mempunyai dimensi sebagai pembebasan yang mampu menumbuhkan ruang otonomi dan independensi khalayak dalam menghayati makna suatu wacana. Artinya, televisi sebagai media komunikasi mempunyai nilai pragmatis dalam kehidupan sehari-hari, baik dari tingkat institusi maupun individu-individu. Ia kemudian merupakan kontestasi wacana terus menerus membawa khalayak kepada nilai-nilai yang harus dimenangkan (bandingkan pada Fiske, 1987)

Televisi sebagai media komunikasi juga menjalankan fungsi imperatif, yakni memelihara otonomi ruang pribadi (personal space) khalayak untuk tujuan objektivikasi dan subjektivikasi. Objektivikasi dapat dilihat sebagai proses untuk mencapai objektivitas terhadap dunia luar (auter-world), sedangkan subjektifikasi dilakukan demi membangun subjektivitas bagi dunia dalam (inner-world) masing-masing individu (bandingkan pada Berger dan Luckman, 1966).

Kontestasi kekuasaan

Perkembangan media saat ini sejalan dengan perkembangan sosial. Perkembangan sosial saat ini, pada dasarnya telah melampaui pemikiran modernitas (yang ditandai dengan munculnya industri barang dan jasa) menuju pemikiran pascamodernitas yang cenderung lebih diorganisasikan oleh seputar konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan teknologi informasi.

Keberadaan media di era pascamodernitas ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam menandai dinamika sosial dan ekonomi masyarakatnya, terutama dalam mengkonsumsi simbol-simbol dan gaya hidup daripada fungsi produksi barang yang menjadi ciri khas era industri. Konsumsi simbol-simbol, gaya hidup, dan dinamika masyarakat terjadi, karena media telah melakukan konstruksi realitas sosial.

Media pada dasarnya telah memberi kontribusi cukup banyak dalam pengkajian tentang pengetahuan suatu masyarakat. Kontribusi media terhadap pengkajian tentang pengetahuan suatu masyarakat dapat ditandai dari strategi dan kepentingan yang dikembangkan media itu sendiri. Dalam mengembangkan strategi dan kepentingannya, terbentuklah identitas-identitas yang kemudian diposisikan menjadi para pelaku media.

Posisi para pelaku pada dasarnya telah ditentukan oleh suatu struktur atau bentuk pengorganisasian demi kepentingan media itu sendiri. Atau dengan kata lain, identitas-identitas yang telah diorganisasi dan dikonstruksi menjadi aktor-aktor yang secara kongkret terlibat dalam arus kontinyu tindakan tersebut, pada dasarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan yang terus berkembang pada diri media.

Jika dalam mengembangkan kepentingan media, para pelaku melakukan tindakan saling mendukung, saling mengontrol, saling bersaing, dan saling mengalahkan, maka hal itu dapat dipahami sebagai proses pembentukan pengetahuan yang melekat di dalamnya. Serangkaian proses pembentukan pengetahuan itulah yang kemudian memberi ruang bekerjanya kekuasaan. Sebab, tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak kekuasaan tanpa pengetahuan.

Sajian acara televisi misalnya, pada dasarnya tidak hanya dilihat dari bentuk-bentuk tekstual semata, ia tersaji lantaran praktik-praktik sosial para pelaku yang diproduksi dan direproduksi secara terus menerus sejalan dengan pengetahuan dan identitas-identitas kultural secara luas. Tersajikannya acara televisi tersebut pada dasarnya melalui proses konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi pengetahuan para pelaku yang terlibat, yang kemudian diekspresikan secara tekstual.

Dalam proses konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi pengetahuan para pelaku itulah, berlangsung kontestasi kekuasaan. Konsep kontestasi kekuasaan dalam hal ini dapat digambarkan dalam bentuk perjuangan, perebutan, dan persaingan yang seiring dengan proses pembentukan pengetahuan itu sendiri.

Baik proses pembentukan pengetahuan maupun terciptanya kontestasi kekuasaan pada dasarnya dapat dilihat sebagai bentuk kebudayaan. Akan tetapi harus disadari bahwa kekuasaan akan terus mengalir ke sejumlah institusi dan struktur, sehingga kekuasaan tidak dapat diartikan sebagai suatu struktur yang mantap. Ia justru akan selalu berubah sejalan dengan interaksi yang berlangsung secara terus-menerus – baik berupa perjuangan, perebutan, maupun perdebatan – serta berkembangnya pengetahuan para pelaku.

Artinya, kekuasaan akan menyebar tanpa bisa dilokalisasi dan meresap dalam seluruh jalinan hubungan sosial. Meresapnya kekuasaan dalam seluruh jalinan hubungan sosial pada dasarnya merupakan ungkapan-ungkapan kebudayaan, sedangkan kebudayaan merupakan bentukan dari relasi-relasi kekuasaan.

Relasi-relasi kekuasaan media saat ini menunjukan gambaran yang sangat dinamis. Kedinamisan tersebut menggambarkan sebuah kontestasi kekuasaan, yang tidak hanya ditentukan oleh satu pemegang otoritas. Kedinamisan justru ditandai oleh kekuasaan yang terus menerus mengalir dan menyebar ke sejumlah relasi yang terlibat di dalamnya. Katakanlah otoritas negara negara tidak menjadi satu-satunya pengendali regulasi misalnya. Namun, ada sejumlah kepentingan sejumlah pelaku yang selalu dinegosiasikan terus menerus

(Agus Mulyadi Irianto)

Soal: Saya mau tanya seputar hukum membuat gambar. Seperti yang pernah saya baca dari beberapa buku dan info dari teman-teman saya, katanya menggambar akhluk bernyawa itu haram. Tapi bagaimana kalau hanya menggambar alam bentuk kartun? Misalnya dalam bentuk karikatur, komik kayak ‘manga’ dan ‘animasi’ ala Jepang yang kadang-kadang nggak sempurna menggambarkan seorang manusia. Secara lebih konkrit, sebut saja sailormoon, kura-kura ninja, dragon ball, doraemon, pokemon, dan lain-lain. Atau yang ceritanya rada-rada Islami kayak Ali Baba, serial Aladin, serial Abu Nawas, dan lain-lain. Dan di beberapa stiker Islam yang dibuat oleh sejumlah parpol intra dan ekstra parlemen juga memuat kartun-kartun lucu. Apakah hukumnya juga haram?
Bagaimana status semua itu? Apa yang dimaksud dengan menyerupai makhluk Allah? Apakah menggambar yang dimaksud itu adalah melukis seperti aliran realis ala Basuki Abdullah, dan kawan-kawan? Mohon penjelasannya.

Jawab: Hukum Menggambar Makhluk Bernyawa

Pada dasarnya para ‘ulama sepakat bahwa hukum menggambar makhluk bernyawa adalah haram. Banyak riwayat yang menuturkan tentang larangan menggambar makhluk bernyawa, baik binatang maupun manusia. Sedangkan hukum menggambar makhluk yang tidak bernyawa, misalnya tetumbuhan dan pepohonan adalah mubah.

Berikut ini akan kami ketengahkan riwayat-riwayat yang melarang kaum muslim menggambar makhluk bernyawa.

Dari Ibnu, dia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Barangsiapa menggambar suatu gambar dari sesuatu yang bernyawa di dunia, maka dia akan diminta untuk meniupkan ruh kepada gambarnya itu kelak di hari akhir, sedangkan dia tidak kuasa untuk meniupklannya.’” [HR. Bukhari].

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya diantara manusia yang paling besar siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menggambar gambar-gambar yang bernyawa.” (lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, bab Tashwiir).

Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa seorang laki-laki dateng kepada Ibnu ‘Abbas, lalu katanya, “Sesungguhnya aku menggambar gambar-gambar ini dan aku menyukainya.” Ibnu ‘Abbas segera berkata kepada orang itu, “Mendekatlah kepadaku”. Lalu, orang itu segera mendekat kepadanya. Selanjutnya, Ibnu ‘Abbas mengulang-ulang perkataannya itu, dan orang itu mendekat kepadanya. Setelah dekat, Ibnu ‘Abbas meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut dan berkata, “Aku beritahukan kepadamu apa yang pernah aku dengar. Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Setiap orang yang menggambar akan dimasukkan ke neraka, dan dijadikan baginya untuk setiap gambarnya itu nyawa, lalu gambar itu akan menyiksanya di dalam neraka Jahanam.’” Ibnu ‘Abbas berkata lagi, “Bila engkau tetap hendak menggambar, maka gambarlah pohon dan apa yang tidak bernyawa.” [HR. Muslim].

Dari ‘Ali ra, ia berkata, “Rasulullah Saw sedang melawat jenazah, lalu beliau berkata, ‘Siapakah diantara kamu yang mau pergi ke Madinah, maka janganlah ia membiarkan satu berhala pun kecuali dia menghancurkannya, tidak satupun kuburan kecuali dia ratakan dengan tanah, dan tidak satupun gambar kecuali dia melumurinya?’ Seorang laki-laki berkata, ‘Saya, wahai Rasulullah.’ ‘Ali berkata, “Penduduk Madinah merasa takut dan orang itu berangkat, kemudian kembali lagi. Lelaki itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidak aku biarkan satu berhala pun kecuali aku hancurkan, tidak satupun kuburan kecuali aku ratakan, dan tidak satu pun gambar kecuali aku lumuri’. Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa kembali lagi membuat sesuatu dari yang demikian ini, maka berarti dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Saw.’” [HR. Ahmad dengan isnad hasan].

Larangan menggambar gambar di sini mencakup semua gambar yang bernyawa, baik gambar itu timbul maupun tidak, sempurna atau tidak, dan distilir maupun tidak. Seluruh gambar yang mencitrakan makhluk bernyawa, baik lengkap, setengah, kemungkinan bisa hidup atau tidak, distilir (digayakan), maupun dalam bentuk karikatur adalah haram. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 2, menyatakan, bahwa gambar yang dimaksud di dalam riwayat-riwayat di atas adalah semua gambar yang mencitrakan makhluk bernyawa, baik lengkap, setengah, kemungkinan bisa hidup atau tidak, maupun distilir atau tidak. Semuanya terkena larangan hadits-hadits di atas (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 2, bab Tashwiir).

Larangan yang terkandung di dalam nash-nash di atas juga tidak mengandung ‘illat. Larangan menggambar makhluk bernyawa bukan karena alasan gambar itu sempurna atau tidak. Larangan itu juga tidak berhubungan dengan apakah gambar tersebut mungkin bisa hidup atau tidak, distilir maupun tidak. Semua gambar makhluk hidup walaupun tidak lengkap hukumnya tetap haram.

Walhasil, gambar manusia dalam bentuk karikatur, komik, maupun batik yang distilir adalah haram, tanpa ada keraguan sedikitpun. Semua gambar makhluk bernyawa baik digambar secara gaya natural, surealik, kubik, maupun gaya-gaya yang lain adalah haram. Demikian juga, gambar potongan kepala, tangan manusia, sayap burung dan sebagainya adalah haram. Untuk itu, menggambar komik Sailormoon, Dragon Ball, Ninja Boy, Kunfu Boy, Samurai X, dan lain sebagainya adalah perbuatan haram.

Sedangkan proses mendapatkan gambar-gambar yang diperoleh dari proses bukan “menggambar”, misalnya dengan cara sablon, cetak, maupun fotografi, printing dan lain sebagainya, bukanlah aktivitas yang diharamkan. Sebab, fakta “menggambar dengan tangan secara langsung” dengan media tangan, kuas, mouse dan sebagainya (aktivitas yang haram), berbeda dengan fakta mencetak maupun fotografi. Oleh karena itu, mencetak maupun fotografi bukan tashwir, sehingga tidak berlaku hukum tashwir. Atas dasar itu stiker bergambar manusia yang diperoleh dari proses cetak maupun printing tidak terkena larangan hadits-hadits di atas.

Gambar Untuk Anak Kecil

Adapun menggambar makhluk bernyawa yang diperuntukkan untuk anak kecil hukumnya adalah mubah. Kebolehannya diqiyaskan dengan kebolehan membuat patung untuk boneka dan mainan anak-anak.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah, dia berkata, “Aku bermain-main dengan mainan yang berupa anak-anakan (boneka). Kadang-kadang Rasulullah Saw mengunjungiku, sedangkan di sisiku terdapat anak-anak perempuan. Apabila Rasulullah Saw dateng, mereka keluar dan bila beliau pergi mereka datang lagi.” [HR. Bukhari dan Abu Dawud].

Dari ‘Aisyah dituturkan bahwa, Rasulullah Saw datang kepadanya sepulang beliau dari perang Tabuk atau Khaibar, sedangkan di rak ‘Aisyah terdapat tirai. Lalu bertiuplah angin yang menyingkap tirai itu, sehingga terlihatlah mainan boneka anak-anakannya ‘Aisyah. Beliau berkata, “Apa ini wahai ‘Aisyah?” ‘Aisyah menjawab, “Ini adalah anak-anakanku” Beliau melihat diantara anak-anakanku itu sebuah kuda-kudaan kayu yang mempunyai dua sayap. Beliau berkata, “Apakah ini yang aku lihat ada di tengah-tengahnya?” ‘Aisyah menjawab, “Kuda-kudaan.” Beliau bertanya, “Apa yang ada pada kuda-kuda ini?” ‘Airyah menjawab, “Dua sayap.” Beliau berkata, “Kuda mempunyai dua sayap?” ‘Aisyah berkata, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Sulaiman mempunyai kuda yang bersayap banyak?” ‘Aisyah berkata, “Maka tertawalah Rasulullah Saw sampai kelihatan gigi-gigi taring beliau.” [HR. Abu Dawud dan Nasa’i].

Riwayat-riwayat ini menyatakan dengan jelas, bahwa boneka baik yang terbuat dari kayu maupun benda-benda yang lain boleh diperuntukkan untuk anak-anak. Dari sini kita bisa memahami bahwa membuat boneka manusia, maupun binatang yang diperuntukkan bagi anak-anak bukanlah sesuatu yang terlarang. Demikian juga membuat gambar yang diperuntukkan bagi anak-anak juga bukan sesuatu yang diharamkan oleh syara’. Ibnu Hazm berkata, “Diperbolehkan bagi anak-anak bermain-main dengan gambar dan tidak dihalalkan bagi selain mereka. Gambar itu haram dan tidak dihalalkan bagi selain mereka (anak-anak). Gambar itu diharamkan kecuali gambar untuk mainan anak-anak ini dan gambar yang ada pada baju.” (lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah). Wallahu A’lam bi al-Shawab.(www.konsultasi-islam.com)

[Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam (TKAHI)]

Pertanyaan :

Assalamu`alaikum,
Afwan ya akhi, ana mau tanya.Karena situs ini mengatas namakan syari`ah, namun sepertinya tampilannya tidak syar`i, ada gambar dan foto makhluk bernyawa. apakah hukumnya menggambar makhluk bernyawa? ada hadits mengatakan :
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari harga darah, harga anjing, dan dari penghasilan budak perempuan (yang disuruh berzina). Beliau melaknat wanita yang membuat tato dan wanita yang minta ditato, demikian juga pemakan riba dan orang yang mengurusi riba. Sebagaimana beliau melaknat tukang gambar.”
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata kepada Abul Hayyaj Al-Asadi: “Maukah aku mengutus-mu dengan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku? (Beliau mengatakan padaku):

أَلاَّ تَدَع تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

“Janganlah engkau membiarkan gambar kecuali engkau hapus dan tidak pula kubur yang ditinggikan kecuali engkau ratakan.”

Jabir radhiallahu ‘anhu berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصُّوْرَةِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذلِكَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengambil gambar (makhluk hidup) dan memasukkannya ke dalam rumah dan melarang untuk membuat yang seperti itu.”

Seseorang pernah datang menemui Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. Orang itu berkata: “Aku bekerja membuat gambar-gambar ini, aku mencari penghasilan dengannya.” Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Mendekatlah denganku.” Orang itupun mendekati Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Mendekat lagi.” Orang itu lebih mendekat hingga Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dapat meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut, lalu berkata: “Aku akan beritakan kepadamu dengan hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ

“Semua tukang gambar itu di neraka. Allah memberi jiwa/ ruh kepada setiap gambar (makhluk hidup) yang pernah ia gambar (ketika di dunia). Maka gambar-gambar tersebut akan menyiksanya di neraka Jahannam.”
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata kepada orang tersebut: “Jika kamu memang terpaksa melakukan hal itu (bekerja sebagai tukang gambar) maka buatlah gambar pohon dan benda-benda yang tidak memiliki jiwa/ ruh.”

Semoga blog ini insya4JJ1 syar`i sebagaimana mottonya.

Barakallahu fiik..

abu_wildan Al padangi | abu_wildan@plasa.com | IP: 202.127.104.106 | Okt 1, 6:08 AM

Jawaban :

Kami ucapkan terima kasih atas perhatian, masukan, dan kritikan dari saudara terkait tampilan blog Konsultasi Islam. Masukan dari saudara dan pengunjung yang lain Insya Allah sangat bermanfaat bagi kemajuan blog dakwah ini.

Tampilan di blog kami tidak ada gambar seperti yang saudara maksudkan, yang ada adalah foto. Gambar berbeda dengan foto. Gambar dibuat dengan cara menggambar, sementara foto dibuat dengan alat-alat fotografi. Gambar juga berbeda dengan menggambar. Gambar adalah benda sementara menggambar adalah perbuatan. Hukum-hukum yang berkaitan dengannya pun berbeda. Lebih detailnya, mari kita simak penjelasan berikut (diambil dari Taqiyyuddin An-Nabhani, Kepribadian Islam – Jilid II, bab Tashwir. Terjemah : Rizki S Saputro)

Menggambar (Tashwir)

Tashwir adalah menggambar bentuk (shurah) sesuatu. Di antara tashwir adalah membuat patung-patung. Dan tercakup di dalamnya juga pahatan. Gambar atau patung dinamakan shurah. Jamaknya shuwar. Di dalam bahasa disebut juga tashawir. Tercakup di dalamnya tamatsil (patung-patung). Di dalam bahasa dikatakan tashawir adalah tamatsil.

Menggambar yang dilarang

Syara’ telah mengharamkan menggambar sesuatu yang di dalamnya terdapat ruh, seperti manusia, binatang dan burung. Sama saja, apakah gambar tersebut pada kertas, kulit, pakaian, perkakas, perhiasan, uang, atau lainnya. Semuanya adalah haram. Karena, sekedar menggambar sesuatu yang di dalamnya terdapat ruh adalah haram, pada barang apa pun gambar ini dibuat. Sedangkan menggambar sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat ruh, maka itu boleh, tidak ada larangan di dalamnya. Syara’ telah menghalalkan menggambar pohon, gunung, bunga, dan lainnya yang di dalamnya tidak terdapat ruh.

Pengharaman menggambar sesuatu yang di dalamnya terdapat ruh tetap dengan nash-nash syar’i. Bukhari mengeluarkan dari hadits Ibnu Abbas, dia berkata: “Ketika Nabi saw. melihat gambar-gambar yang ada di dalam Rumah (Ka’bah), beliau tidak masuk sampai memerintahkan untuk menghapusnya.”

Diriwayatkan dari Aisyah bahwa dia memasang tirai yang padanya terdapat gambar-gambar. Lalu Rasulullah saw. masuk dan melepasnya. Aisyah berkata: “Lalu aku memotongnya menjadi dua bantal. Dan beliau dulu bersandar pada keduanya.” (Diriwayatkan oleh Muslim).

Dalam lafadz Ahmad: “Lalu aku melepasnya dan memotongnya menjadi dua sandaran (bantal). Sungguh aku telah melihat beliau bersandar pada salah satu dari keduanya, sedang padanya terdapat gambar.”

Muslim dan Bukhari mengeluarkan dari hadits Aisyah, dia berkata: “Rasulullah saw. memasuki ruanganku sedang aku telah menutup sebuah sahwah (semacam rak) milikku dengan qiram yang padanya terdapat gambar-gambar. Ketika beliau melihatnya, beliau melepaskannya, sedang wajah beliau telah berwarna (marah). Beliau berkata: “Wahai Aisyah, manusia yang paling pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai penciptaan Allah.” Qiram adalah tabir tipis yang padanya terdapat warna-warna, atau tabir yang padanya terdapat garis-garis atau lukisan.

Dalam hadits Muslim, diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata: “Rasulullah tiba dari perjalanan, sedang aku telah menutup pintuku dengan durnuk yang padanya terdapat kuda yang memiliki sayap. Maka beliau menyuruhku untuk melepasnya.” Durnuk adalah sejenis kain.

Bukhari mengeluarkan dari hadits Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa menggambar sebuah gambar, maka Allah akan mengazabnya dengan gambar tersebut pada hari kiamat, sampai dia meniupkan (ruh) padanya, pahahal dia tidak dapat meniupkan (ruh).”

Dia juga mengeluarkan melalui Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa pada hari kiamat. Dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki mendatanginya lalu berkata: “Sesungguhnya aku telah menggambar gambar-gambar ini dan membuat gambar-gambar ini. Maka berilah fatwa padaku tentangnya.” Ibnu Abbas berkata: “Mendekatlah padaku.” Lalu dia mendekat pada Ibnu Abbas, sampai Ibnu Abbas meletakkan tangannya di atas kepala laki-laki tersebut. Ibnu Abbas berkata: “Aku beritahukan kepadamu tentang apa yang aku dengar dari Rasulullah saw. Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Setiap penggambar ada di dalam neraka. Kepada setiap gambar yang digambarnya diberikan jiwa. Gambar tersebut menyiksanya di jahanam. Maka, jika kamu harus menggambar, gambarlah pohon dan apa yang tidak memiliki jiwa.’”

Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Jibril as. mendatangiku lalu berkata: “Sesungguhnya aku telah mendatangiku tadi malam. Dan tidak ada yang menghalangiku untuk memasuki rumah yang kamu ada di dalamnya kecuali bahwa di dalam rumah tersebut terdapat patung seorang laki-laki, di dalam rumah tersebut terdapat qiram berupa tabir yang padanya terdapat gambar-gambar, dan di dalam rumah tersebut terdapat anjing. Maka perintahkanlah agar kepala patung tersebut dipotong dan dibuat seperti bentuk pohon, perintahkanlah agar tabir tersebut dipotong dan dijadikan dua bantal yang diinjak, dan perintahkanlah agar anjing tersebut dikeluarkan.” Lalu Rasulullah saw. melakukan itu. Dan qiram adalah tabir tipis dari wool yang memiliki warna.

Bukhari meriwayatkan melalui Abu Juhaifah, bahwa dia membeli seorang budak ahli bekam, lalu dia berkata: “Sesungguhnya Nabi saw. melarang harga darah, harga anjing, dan pendapatan pelacur. Dan beliau melaknat pemakan riba dan orang yang mewakilkannya, pembuat tatto dan orang yang minta dibuatkan, serta penggambar.”

Hadits-hadits ini secara keseluruhan memuat perintah untuk meninggalkan menggambar dengan perintah yang tegas. Ini adalah dalil bahwa menggambar adalah haram. Dan ini umum, mencakup semua gambar. Sama saja, gambar yang memiliki bayangan atau tidak memiliki bayangan. Dan sama saja, gambar sempurna atau separuh. Tidak ada perbedaan dalam pengharaman menggambar antara gambar yang memiliki bayangan dan gambar yang tidak memiliki bayangan, serta antara gambar sempurna yang mungkin hidup dan gambar separuh yang tidak mungkin hidup. Semuanya haram, berdasarkan keumuman hadits-hadits di atas. Juga, karena hadits Ibnu Abbas tentang Rumah menunjukkan bahwa gambar-gambar yang ada di Ka’bah adalah yang dilukis dan tidak memiliki bayangan. Karena, Rasul tidak memasukinya sampai gambar-gambar tersebut dihapus. Dan hadits Aisyah menunjukkan bahwa tabir tersebut padanya terdapat gambar yang tidak memiliki bayangan.

Diriwayatkan bahwa Nabi saw. mengirim Ali dalam sebuah sariyyah. Beliau berkata kepadanya: “Janganlah kamu meninggalkan sebuah patung kecuali kamu hancurkan, tidak pula sebuah gambar kecuali kamu hapus, dan tidak pula sebuah kuburan yang dimuliakan kecuali kamu ratakan dengan tanah.”

Di sini beliau menyebutkan kedua jenis: yang memiliki bayangan yaitu patung, dan yang tidak memiliki bayangan yaitu gambar yang dihapus. Jadi, pembedaan antara yang memiliki bayangan dan yang tidak memiliki bayangan tidak benar dan tidak memiliki dasar. Juga, karena keberadaan gambar tersebut bisa hidup atau tidak bisa hidup bukanlah ‘illah pengharaman. Dan tidak ada dalil yang mengecualikan itu dari pengharaman.

Menggambar yang diperbolehkan

Sedangkan bolehnya menggambar sesuatu yang tidak terdapat ruh di dalamnya, berupa pohon, gunung, dan lainnya, itu disebabkan karena pengharaman dalam hadits-hadits yang mengharamkan menggambar dibatasi dengan gambar yang di dalamnya terdapat ruh. Ini adalah batasan (qaid) yang diakui dan memiliki mafhum yang diterapkan. Dan mafhumnya adalah bahwa gambar yang di dalamnya tidak terdapat ruh tidak haram. Benar bahwa sebagian hadits berbentuk muthlaq (tanpa batasan). Tapi sebagian yang lain berbentuk muqayyad (memiliki batasan). Dan kaedah Ushul menyatakan bahwa yang muthlaq disamakan dengan yang muqayyad. Sehingga, pengharaman hanya berlaku pada gambar yang di dalamnya terdapat ruh, yaitu manusia, binatang dan burung. Sedangkan selain itu, tidak haram menggambarnya, tapi boleh.

Di samping itu, pembolehan menggambar sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat ruh, berupa pohon dan lainnya, telah disebutkan dengan jelas dalam hadits-hadits tersebut. Dalam hadits Abu Hurairah: “Maka perintahkanlah agar kepala patung tersebut dipotong dan dibuat seperti bentuk pohon.” Ini berarti bahwa patung pohon tidak apa-apa. Dan dalam hadits Ibnu Abbas: “Maka, jika kamu harus menggambar, gambarlah pohon dan apa yang tidak memiliki jiwa.”

Hadits-hadits yang mengharamkan menggambar tidak memiliki ‘illah. Tidak terdapat penjelasan ‘illah menggambar dengan illah apa pun. Karena itu, janganlah mencari ‘illah untuknya. Sedangkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar berupa perkataan Rasul: “Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan”, apa yang terdapat dalam hadits Ibnu Abbas: “sampai dia meniupkan (ruh) padanya, pahahal dia tidak dapat meniupkan (ruh)”, dan apa yang terdapat hadits Aisyah tentang gambar: “manusia yang paling pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai penciptaan Allah”; semua itu tidak disebutkan sebagai penjelasan ‘illah. Lafadz-lafadz dan kalimat-kalimat yang ada dalam hadits-hadits ini darinya tidak dapat dipahami ‘illah. Segala yang terjadi hanyalah bahwa Rasul menyerupakan menggambar dengan penciptaan, dan para penggambar dengan Sang Pencipta. Dan penyerupaan (tasybih) bukanlah penjelasan ‘illah dan tidak bisa menjadi ‘illah. Karena, penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang lain tidak menjadikan sesuatu yang diserupai (musyabbah bih) sebagai ‘illah bagi sesuatu yang diserupakan (musyabbah). Dia hanya menjadi penjelasan baginya. Dan penjelasan bagi sesuatu bukanlah ‘illah baginya.

Apakah ada Illatnya?

Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa menggambar haram karena di dalamnya terdapat perbuatan menyamai penciptaan Allah. Karena, Allah Ta’ala menciptakan manusia, binatang dan burung, serta menciptakan pohon, gunung dan bunga-bunga. Dengan demikian, ‘illah ini terdapat juga dalam pohon, gunung, bunga-bunga dan lainnya. Karena, semuanya adalah ciptaan Allah juga. Sehingga, menggambarnya haram, karena adanya ‘illah di dalamnya. Dan ‘illah berputar bersama hukum, dari segi ada dan tidaknya. Padahal, nash-nash menyebutkan pembolehan menggambar pohon dan semua yang di dalamnya tidak terdapat ruh. Dengan demikian, menggambar manusia dan binatang haram berdasarkan nash-nash yang mengharamkannya, bukan karena adanya ‘illah tertentu. Dan menggambar pohon, gunung dan semua yang di dalamnya tidak terdapat ruh boleh, tidak ada larangan tentangnya, berdasarkan nash-nash yang membolehkannya.

Hukum Fotografi

Menggambar yang diharamkan oleh Allah Ta’ala adalah melukis, memahat dan lainnya, yang langsung dilakukan oleh manusia dengan dirinya sendiri. Sedangkan “menggambar” dengan menggunakan alat fotografi, tidak termasuk ke dalamnya, dan tidak termasuk menggambar yang diharamkan, tapi itu mubah. Karena, pada hakekatnya dia bukan menggambar, tapi memindahkan bayangan dari realita menuju film. Dia bukanlah menggambar orang yang dilakukan oleh penggambar. Jadi, penggambar dengan alat fotografi tidak menggambar orang, tapi memantulkan bayangan orang pada film dengan menggunakan alat. Itu adalah memindahkan bayangan, bukan menggambar; dengan perantaraan alat, bukan dilakukan langsung oleh penggambar. Sehingga, itu tidak masuk ke dalam larangan yang terdapat dalam hadits-hadits. Hadits-hadits mengatakan: “orang-orang yang membuat gambar-gambar ini”, “Sesungguhnya aku telah menggambar gambar-gambar ini”, “Setiap penggambar”, dan “para penggambar”. Dan orang yang mengambil gambar orang atau binatang dengan alat fotografi tidak membuat gambar-gambar ini, dan tidak menggambar. Dia bukanlah penggambar, tapi alat fotografilah yang memindahkan bayangan ke film. Dia tidak melakukan sesuatu kecuali menggerakkan alat. Karena itu, dia bukan penggambar, dan tidak mungkin dialah yang menggambar, tidak dengan satu atau lain alasan. Dengan demikian, larangan sama sekali tidak mencakupnya.

Selain itu, menggambar yang disebutkan pengharamannya di dalam hadits-hadits di atas telah dijelaskan dan dibatasi jenisnya, yaitu yang menyerupai penciptaan dan yang di dalamnya penggambar menyerupai Sang Pencipta, dari sisi bahwa itu adalah pengadaan sesuatu. Jadi menggambar di sini berarti mengadakan gambar, baik dengan melukisnya dari hayalannya atau melukisnya dari aslinya yang ada di hadapannya. Dalam kedua kondisi ini, dia adalah pengadaan gambar. Karena, dialah yang di dalamnya terdapat kreasi. Sementara menggambar dengan alat fotografi tidak masuk jenis ini. Karena, dia bukanlah pengadaan gambar, dan di dalamnya tidak terdapat kreasi.

Dia hanyalah memantulkan sesuatu yang ada ke film. Karena itu, dia tidak dianggap sebagai jenis menggambar yang pengharamannya disebutkan dalam hadits-hadits tersebut. Hadits-hadits tersebut tidak berlaku padanya, dan dia tidak masuk ke dalam cakupan hadits-hadits tersebut dalam pengharaman.

Hakekat seni bagi gambar yang dilukis menggunakan tangan dan gambar fotografi menguatkan itu dengan sangat sempurna. Keduanya adalah dua jenis yang sama sekali berbeda. Gambar seni adalah gambar yang dilukis dengan tangan. Dan itu berbeda dengan gambar fotografi dari sisi seni dan dari sisi kreasi. Dari sini, menggambar dengan alat fotografi adalah boleh, tidak ada larangan di dalamnya.

Hukum Memiliki Gambar

Ini yang berkaitan dengan menggambar itu sendiri. Sedangkan memiliki gambar-gambar yang telah digambar, jika itu di tempat yang disediakan untuk ibadah, seperti masjid, mushala, dan lainnya, maka haram secara pasti. Dasarnya adalah apa yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas bahwa Rasul saw. menolak untuk memasuki Ka’bah sampai gambar-gambar yang ada padanya dihapus. Ini adalah perintah yang tegas untuk meninggalkan, sehingga menjadi dalil pengharaman.

Sedangkan memiliki gambar-gambar tersebut di tempat yang tidak disediakan untuk beribadah, seperti rumah, perpustakaan, sekolah, dan lainnya, di dalamnya terdapat perincian dan penjelasan. :

1. Jika gambar dipasang di tempat yang di dalamnya terdapat penghormatan terhadap gambar tersebut, maka makruh, tidak haram.

1. Jika gambar dipasang di tempat yang di dalamnya tidak terdapat penghormatan terhadap gambar tersebut, maka boleh, tidak apa-apa.

Pemakruhan di tempat yang di dalamnya terhadap penghormatan terhadapnya adalah berdasarkan hadits Aisyah bahwa Rasul melepas tabir yang padanya terdapat gambar. Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Jibril menolak untuk memasuki rumah karena di dalamnya terdapat patung, gambar dan anjing. Sedangkan bahwa pemakruhan ini khusus bagi gambar yang diletakkan di tempat yang di dalamnya terdapat penghormatan terhadapnya, dan bahwa tidak apa-apa jika gambar tersebut diletakkan di tempat yang di dalamnya tidak terdapat penghormatan terhadapnya, adalah karena hadits Aisyah menyebutkan bahwa Rasul melepas tabir yang padanya terdapat gambar ketika gambar itu ditegakkan, dan bahwa beliau bersandar pada bantal yang padanya terdapat gambar. Juga, karena dalam hadits Abu Hurairah, Jibril berkata kepada Rasul: “perintahkanlah agar tabir tersebut dipotong dan dijadikan dua bantal yang diinjak”. Ini menunjukkan bahwa larangan mengarah pada meletakkan gambar di tempat yang di dalamnya terdapat penghormatan terhadapnya, dan tidak mengarah pada memiliki gambar tersebut.

Sedangkan bahwa meletakkan gambar di tempat yang di dalamnya terdapat penghormatan terhadapnya adalah makruh bukan haram, adalah disebabkan karena larangan yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut tidak disertai qarinah yang menunjukkah penegasan, seperti ancaman terhadap orang yang memiliki gambar, atau celaan terhadapnya, atau semacamnya, sebagaimana yang disebutkan dalam larangan menggambar. Larangan tersebut hanyalah berupa perintah untuk meninggalkan. Dan terdapat hadits-hadits lain yang melarang memiliki patung dan membolehkan memiliki gambar yang dilukis. Ini menjadi qarinah bahwa larangan tersebut tidak tegas.

Dalam hadits Abu Thalhah milik Muslim diriwayatkan dengan lafadz: “Malaikat tidak memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau gambar.”

Dalam riwayat lain dari jalan yang diriwayatkan oleh Muslim, beliau bersabda: “Kecuali lukisan di baju”.

Ini menunjukkan pengecualian gambar yang dilukis di baju. Mafhumnya adalah bahwa malaikat memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar yang dilukis di baju. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits-hadits larangan lainnya, maka dia menjadi qarinah bahwa perintah untuk meninggalkan di sini tidaklah tegas. Dengan demikian, memiliki gambar di tempat yang di dalamnya terdapat penghormatan terhadapnya adalah makruh, bukan haram.

Ada dua cara untuk membuat read more di blogger / blogspot baru (tanda Blogger Baru adalah di admin memakai layout / tata letak dan page element / elemen halaman).

Cara Pertama:

1. Buka template -> Edit HTML -> Kasih tanda tik pada menu "expand widget tempate" (lihat gambar 1)
2. Letakkan kode berikut persis di atasnya kode (lihat gambar 2)


3. Letakkan kode berikut di bawah kode



(lihat gambar 3)


Read More..


4. Klik Simpan. Selesai.
5. Klik SETTINGS atau Pengaturan, terus klik FORMATTING atau Format. Di paling bawah ada kotak kosong di samping menu TEMPLATE POSTING. Isi kotak kosong tsb dg kode berikut:





Jangan lupa klik SIMPAN PENGATURAN.

Gambar 1:

cara buat read more gambar 1

Gambar 2:

cara buat read more gambar 2

Gambar 3:

cara buat read more gambar 3

Cara Memposting

Ketika memposting, klik EDIT HTML (bukan COMPOSE). Maka, secara otomatis akan tampak kode




Letakkan posting yg akan ditampilkan di halaman muka di atas kode sementara sisanya (yakni keseluruhan entry/artikel), letakkan di antara kode



dan



Masalah yang Sering Dihadapi

1. Saat mengklik "Simpan Perubahan" kita sering mendapat pesan demikian:

XML error message: The element type “style” must be terminated by the matching end-tag “”.

Jangan panik. Itu artinya tanda petik / kutip buka tutup (quote/unquote) yakni tanda ' dalam kode tidak cocok dengan font template. Yang perlu dilakukan adalah buang tanda kutip ['] itu dan kasih tanda kutip yang baru di tempat yang sama. Dan coba klik lagi SIMPAN.

2. Anda sudah berhasil memasang seluruh kode di atas, tetapi ‘read more’ gak berhasil; posting tetap panjang? Dan tulisan ‘read more’ nongol di bagian bawah artikel? Tenang. Ikuti solusi berikut: klik “Pengaturan” -> klik “Format” -> buang/delete semua tanda kutip buka/tutup (quote/unquote) di “fullpost” dan ganti dengan tanda kutip yang baru. Jangan lupa klik “Simpan”.
Selesai. Selamat ngeblog di blogger / blogspot dengan READ MORE.

Apabila Anda berhasil melakukan cara bikin READ MORE di atas tak perlu lagi mencoba cara di bawah. Cara di bawah cuma sebagai alternatif dan agak lebih rumit di banding cara yang di atas.

Sebuah konsep menuju ketahanan budaya

HAMPIR bisa dipastikan sebagian besar orang mengartikan “kebudayaan” sebagai “kesenian”, meskipun sebenarnya kita semua memahami bahwa kesenian hanyalah bagian dari kebudayaan. Hal ini tentulah karena kesenian memiliki bobot besar dalam kebudayaan. Kesenian sarat dengan kandungan nilai-nilai budaya, bahkan menjadi wujud dan ekspresi yang menonjol dari nilai-nilai budaya.


Kebudayaan secara utuh sebenarnya meliputi pola pikir atau mindset suatu masyarakat (tentang segala perikehidupannya di masa lampau, masa kini dan masa depan), yang banyak terekspresikan melalui aneka-ragam dan aneka dimensi kesenian. Demikian pula, kesenian merupakan salah satu wadah dominan untuk mengartikulasikan kebudayaan tak berwujud (intangible culture). Seperti juga yang diutarakan Meutia Farida Hatta Swasono di Institut Seni Indonesia Yogyakarta beberapa waktu lalu bahwa kemajuan kebudayaan bangsa dan peradabannya membawa serta, dan sekaligus secara timbal-balik dibawa serta, oleh kemajuan keseniannya.

Bagaimana peran kesenian tradisonal dalam konsep ketahanan budaya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu beberapa langkah anternatif. Pertama, perlu mengidentifikasi kesenian-kesenian tradisonal tertentu yang dominan dan sinambung (viable), yang memiliki peluang untuk dikembangkan dan diperkaya, serta dapat menarik munculnya daya apresiasi masyarakat. Kedua, kesenian-kesenian tradisional terpilih diartikulasikan sesuai dengan tuntutan perkembangan sosial, sehingga mudah beradaptasi dan mendorong kepekaan umum terhadap nilai-nilai keanggunan seni. Ketiga, mendorong dinamika seni menjadi kreasi dan santapan segar untuk kelengkapan kehidupan sehari-hari, menjadikannya semacam way of life.

Kesenian sebagai Nilai Tambah Kultural

Bertolak dari pernyataan tersebut dapatlah dikemukakan bahwa pengembangan kesenian daerah (tradisonal) adalah pembangunan nilai-nilai seni dan apresiasi seni demi meningkatkan kemartabatan seniman dan masyarakat. Dalam pembangunan nasional, idealnya kesenian sebagai bagian dari kebudayaan nasional memperoleh maknanya dalam kaitan dengan pemahaman dan apresiasi nilai-nilai kultural. Oleh karena itu, untuk meningkatkan ketahanan budaya bangsa, maka pembangunan nasional perlu bertitik-tolak dari upaya-upaya pengembangan kesenian yang mampu melahirkan “nilai-tambah kultural”.

Pakem-pakem kesenian (lokal dan nasional) pada dasarnya tetap diperlukan, karena ia berakar dalam budaya masyarakat. Akan tetapi, ia dimungkinkan untuk dekomposisi, rekonstruksi, rekoreografi, renovasi, revitalisasi, refungsionalisasi, disertai improvisasi dengan aneka hiasan. Sentuhan-sentuhan nilai-nilai dan nafas baru, perlu juga dikembangkan demi mengundang apresiasi dan menumbuhkan sikap pembaharuan dan pengayaan karya-karya seni. Di sinilah awal dari kesenian daerah menjadi kekayaan budaya dan “modal sosial-kultural” masyarakat.

Di sisi lain kita harus menyadari bahwa kesenian daerah (tradisional) pada dasarnya adalah anonim. Bahkan, lebih jauh lagi ia juga tak bisa dibatasi atas klaim wilayah. Ia menjadi tak terbatasi oleh garis yang pasti (borderless). Untuk itulah, jika kesenian ditempatkan sebagai sarana menciptakan ketahanan budaya suatu bangsa maka persoalan makna ketahanan budaya tersebut harus disikapi sebagai ketahanan nasional.

Studi kasus masyarakat Jawa di Jawa Tengah misalnya, selama ini ia sedang berusaha memelihara eksistensi dan soliditas sosialnya untuk tidak kehilangan kesadaran diri, tidak kehilangan jatidiri, harga diri, atau pun sejarah peradabannya. Eksistensi dan soliditas warga masyarakat ini akan terjaga dengan baik jika pengembangan seni mampu memperkukuh kesadaran diri dan jatidiri kita sebagai bangsa yang anggun dan beradab.

Seumpama kesenian dapat dianalogkan dengan ekonomi misalnya, maka pembangunan ekonomi yang bermakna sebagai upaya untuk meningkatkan “nilai-tambah ekonomi”, maka pembangunan kesenian dan kebudayaan akan bermakna sebagai upaya meningkatkan “nilai-tambah kultural”. Nilai tambah kultural pada dasarnya juga memuat makna nilai-tambah kemartabatan, nilai-tambah kebanggaan, nilai-tambah jatidiri dan nilai-tambah akal-budi serta budi pekerti. Hal ini erat kaitannya dengan apa yang dicita-citakan oleh kemerdekaan bangsa ini, yaitu cita-cita untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah makna yang berdasarkan pada konsepsi iptek atau pun konsepsi biologi-genetika, melainkan merupakan suatu konsepsi budaya. Dengan demikian “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan upaya untuk meningkatkan kekayaan batin, meningkatkan kadar budaya bangsa, kadar kemadanian, sebagai suatu proses humanisasi mencapai keadiluhungan yang mengungguli basic instincts, untuk mengangkat harkat dan derajat insani dari bangsa kita.

Ketahanan Budaya dan Globalisasi

Memang harus diakui bahwa ancamanan globalisasi tak bisa dihindari. Ketahanan budaya ini tentu harus selalu kita artikan secara dinamis, di mana unsur-unsur kebudayaan dari luar ikut memperkokoh unsur-unsur kebudayaan lokal. Untuk itu, perlu kita kemukakan bahwa proses globalisasi, yang dikatakan dapat mempertajam “clash of civilizations”, dan – meminjam istilah Samuel Huntington – juga dapat mengakibatkan perusakan berat terhadap peradaban. Kemasyarakatan dan kesadaran etnis (exacerbation of civilizational, societal and ethnic self-consciousness), tidak perlu mengakibatkan pelumpuhan yang memarginalisasi eksistensi bangsa ini, selama kita memiliki ketahanan budaya yang tangguh. Dalam pengertian ini, jelas bahwa bila kita bicara mengenai ketahanan budaya, pada dasarnya kita berbicara pula mengenai pelestariannya dan pengembangannya secara dinamis dengan upaya-upaya yang lebih khusus.

Harus diakui, globalisasi memiliki banyak pengertian. Globalisasi semacam penciutan dunia. Mereka mengistilahkannya sebagai kampung global. Sebagian lagi berpandangan, globalisasi adalah penyatuan dunia. Namun pengertian ini bukan berarti penyeragaman budaya. Yang jelas hingga kini, sebagian besar ilmuan masih berselisih pendapat soal pengertian globalisasi. Bahkan definisi yang mereka ajukan masih menyisakan banyak ketidakjelasan.

Namun demikian, setidaknya ada dua perspektif utama mengenai globalisasi. Perspektif pertama berkeyakinan bahwa globalisasi merupakan sebuah strategi untuk penyeragaman dan memberikan model sistem nilai yang tunggal di tingkat global. Seluruh budaya lokal akan digerus dalam proyek globalisasi sehingga pluralitas yang ada akan berujung pada sebuah tatanan tunggal. Perspektif ini lahir dari pandangan yang berkembang di kalangan pemikiran dan politisi Barat, khususnya pada abad ke-18.

Globalisasi dalam pengertian mereka, semacam ruang dua kutub mengenai isu identitas budaya, sosial, dan nasional, sedang di sisi lainnya mereka melontarkan ide pemusnahan identitas lokal. Dengan mencermati perkembangan dalam beberapa dekade terakhir ini, tampak jelas adanya upaya para politisi negara-negara Barat, semacam AS berusaha menyeret dunia menuju tatanan tunggal berdasarkan nilai-nilai Barat. Sebagian besar ilmuan bahkan menyebut model globalisasi kultural semacam itu sebagai imperialisme budaya yang lebih terkesan nyata di lingkungan media massa dan seni. Sebagai contoh, acara-acara televisi, filem, dan musik pop merupakan perangkat utama imperialisme budaya. Dengan demikian, seni bisa menjadi perangkat paling efektif di berbagai bidang yang bisa membantu para perancang globalisasi kultural merealisasikan ambisinya.

Perspektif kedua, globalisasi berseberangan nyata dengan perspektf pertama. Berdasarkan pandangan kelompok kedua ini, globalisasi berjalan dengan penguatan budaya dan seni lokal. Mereka berpendapat, meski dunia saat ini sedang mengalami proses globalisasi, namun bangsa-bangsa dunia tidak menyerah begitu saja. Kekuatan dan kemampuan budaya lokal dan regional juga dirasa makin menguat.

Seorang peneliti asal India, Doktor Abhay Kumar Singh pernah mengatakan: “Globalisasi dalam bentuk awalnya, mungkin terbilang sebagai bencana bagi kesenian kita. Ia seperti angin topan yang bisa mencerabut apa saja hingga ke akar-akarnya. Namun dalam perspektif yang lain, globalisasi bisa dipandang sebagai kesempatan istimewa bagi bangsa-bangsa dunia yang terbilang kaya dari segi budaya. Seni makin maju hingga mempengaruhi dunia. Sejarah membuktikan bahwa di berbagai masa, seni peradaban Iran, India, dan Romawi telah tersebar hingga ke negeri-negeri yang jauh. Masalah seperti itu bisa terulang kembali. Sejatinya, bangsa-bangsa yang meyakini akar-akar budayanya, tentu tidak akan takut akan budaya asing. Kita harus berusaha dan tahu bagaimana seni bisa menjadi alat untuk membela tradisi dan budaya lokal”.

Perspektif yang kedua tentang globalisasi ini mulai muncul dan berkembang pada akhir abad ke-20. Hingga masa-masa awal millenium ketiga, perdebatan soal globalisasi masih belum juga usai. Para pakar dan peniliti sosial masih asyik berwacana tentang perangkat dan pengaruh globalisasi terhadap budaya dan seni masyarakat. Makin berkembangnya teknologi infomasi, komunikasi, dan kebudayaan bangsa-bangsa dunia di awal abad ke-21 membuat batas-batas geo-politik negara tak lagi berperan penting. Kekhasan utama abad sekarang adalah begitu cepatnya proses pertukaran informasi. Karena komunikasi elektronik berjalan setiap saat yang menyambung berbagai ruang yang terpisah seakan menyatu. Jaringan komunikasi global telah menjadikan manusia berkuasa untuk mengalami dunia sebagai satu unit.

Dunia saat ini memerlukan hubungan kerjasama yang positif sekaligus menerima beragam pluralitas yang ada. Masyarakat global mesti bisa memandang dunia sebagai satu kesatuan di tengah pelbagai perbedaan yang ada. Karena itu, kita mesti memiliki visi baru mengenai hubungan dan kerjasama regional dan internasional. Sehingga dunia terus berjalan dan bisa diminimalisir dari segala bentuk ketegangan, konflik, intervensi dan hegemoni kekuatan adidaya.

Tentu globalisasi, selain harus kita waspadai, juga harus kita lihat sebagai kesempatan-kesempatan baru. Kita harus proaktif di dalamnya. Di situ kita harus “go global” dengan local specifics Indonesia, sehingga Indonesia lebih dikenal sebagai aktor tangguh dalam proses globalisasi, baik dari aspek budaya maupun dari aspek keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh dari perkembangan kesenian dan kebudayaan Indonesia.